Aprindo Dorong 35 Ribu Karyawan Jadi Prioritas Vaksin Covid-19

Share :

April Wahyu Widati

Badai bernama Covid-19 belum reda menerpa dan menggilas industri ritel Jawa Timur. Berdarah-darah selama 2020, vaksinasi terhadap karyawan industri ritel ternyata belum menjadi prioritas sebagai salah satu pengungkit, agar roda perekonomian bergerak kembali. Inilah tantangan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sebagai jembatan komunikasi antara pengusaha ritel dengan pemerintah.”Berdasarkan data kami, ada sekitar 35 ribu karyawan ritel di Jawa Timur yang belum tersentuh vaksin. Kami sedang memperjuangkan agar karyawan industri ritel mendapat prioritas vaksin,” ungkap Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jawa Timur, April Wahyu Widati saat berbincang dengan Forkasmail, 19 Maret 2021.

Menurut April, Aprindo Jatim sudah berusaha membangun komunikasi dengan pemerintah daerah sejak Februari 2021. Ada tiga pemerintah daerah yang sudah berkomuniksi yakni Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kabupaten Gresik. Namun hingga Maret 2021, belum ada pembicaraan lanjutan mengenai vaksinasi terhadap karyawan ritel. ”Jadi visi dan misi Aprindo adalah menjadi jembatan komunikasi antara pengusaha ritel dengan pemerintah. Fokus kami saat ini adalah memperjuangkan vaksin terhadap karyawan industry ritel  dan mengembalikan pertumbuhan industri ritel,” imbuhnya.

April menegaskan, karyawan ritel adalah garada terdepan pelayanan. Setiap hari mereka harus bertemu dan melayani konsumen yang berbelanja sembako atau kebutuhan pokok lainnya. Seperti para pedagang pasar tradisional, karyawan ritel juga harus mendapat prioritas vaksin Covid-19. ”Kita ini dikejar-kejar terus mengenai CSR tapi begitu ada program vaksin seolah kita menjadi nomor dua. Saya akan menyampaikan ke pak wali (Wali Kota Surabaya Red), agar karyawan ritel mendapat prioritas vaksin,” tegasnya. 

Tahun 2020 adalah tahun ”berdarah-darah” bagi bisnis ritel. Pada bulan Mei 2020, seharusnya menjadi bulan panen bagi industri ritel karena perayaan Idul Fitri. Pada tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan industry ritel  bisa di atas 5%. Namun pandemi Covid-19 mengubah segalanya. Bisnis retail hanya tumbuh 2%, jadi sangat turun drastis. Aprindo menjadi perekat anggota untuk bergandeng tangan agar kuat melewati pandemi Covid-19.  ”Setahun terakhir. (Pandemi Covid-19) sangat-sangat berdampak. Dampaknya terasa sejak semester II tahun 2020. Mulai Mei 2020 seharusnya momen lebaran ada pandemi.,” lanjut wanita yang terpilih sebagai Ketua DPD Aprindo Jatim pada 2017 ini. Menurut dia, pada tahun 2020, peritel belum aware sistem belanja online. Karena terjadi pandemi, peritel akhirnya mengarah ke online. Segala daya dan upaya dilakukan untuk masuk ke pasar online. Namun membangun system dalam hal ini website dll,  tidak semudah membalikkan telapak tangan. ”Meski tidak bisa cepat direalisasikan tapi, peritel mulai masuk ke sistem belanja online,” tandasnya.

Strategi kedua, peritel memikirkan bagaimana bisa melayani konsumen dengan uang terbatas. Peritel akhirnya menonjolkan barang-barang kemasan kecil. Misalnya dulu kecap 600 atau 650 ml, kini disediakan ukuran 200 ml. ”Sejak masyarakat sudah divaksin, Aprindo Jatim berharap pertumbuhan ritel bisa tumbuh di angka 4 sampai 4,5%. Meski pertumbuhan tersebut belum menyamai capaian pertumbuhan sebelum terjadi pandemi Covid-19,” imbuh penyuka music pop ini.

Pembukaan Toko Baru  Masih Terhambat Aturan

Aprindo berdiri pada 11 Oktober 1994 dengan anggota sebanyak 183 brand (nasional). Total gerai sebanyak 5.800 di Jatim. Dengan format Hypermarket,Supermarket, Minimarket, Deptstore, dan perkulakan/grosir. Asosiasi ini sejak awal didirikan untuk melawan jaringan black market yang diperkirakan menguasai pasar hingga 60%. Berawal dari pertemanan antara pemilik Matahari, Hero, dan Gelael, asosiasi yang menaungi peritel ini lantas dideklarasikan. Pada anggaran dasar dan rumah tangga Aprindo, sangat jelas tugas dan fungsi asosiasi. Antara lain, sebagai jembatan komunikasi peritel dengan pemerintah. Kemudian jembatan komunikasi antara pengusaha kecil dan menengah dengan peritel. ”Kalau tidak ada jembatan komunikasi, tidak serta merta UMKM bisa masuk ke peritel. Aprindo mengadakan pelatihan agar UMKM bisa masuk ke peritel,” jelas April.

Seiring berkembangnya zaman, permasalahan yang dihadapi peritel juga berkembang. Bila dulu yang dihadapi permasalahan black market, kini anggota Aprindo mengeluhkan aturan yang menghambat pembukaan toko atau ekspansi. Ada beberapa daerah kurang membuka terhadap ritel berjaringan. Biasanya, mereka beralasan ritel berjaringan akan membunuh pasar tradisional. Padahal minimarket bisa bersinergi pasar tradisional karena segmentasinya berbeda. ”Saya harus meluruskan. Sebenarnya yang menjadi kompetitor pasar tradisional adalah pedagang kaki lima yang berada di depan pasar. Kemudian toko-toko yang tidak membayar retribusi, justru itu kompetitor pasar tradisional,” imbuhnya.

Menurut April, kendala pembukaan toko adalah kajian sosial ekonomi yang menjadi syarat perizinan.Ada 9 perizinan, antara lain seperti izin mendirikan bangunan, tanda daftar perusahaan. Dan yang paling berat adalah kajian sosial ekonomi (sosek). Kajian sosek ini yang kadang multitafsir.”Begitu hasil kajian sosek disampaikan ke dinas, ada perbedaan tafsir dan titik berat kajian. Ini yang kami keluhkan karena bila kajian tidak diterima, maka harus diulang lagi sampai diterima oleh tim perizinan,” tandasnya. Aprindo meminta kepada pemerintah untuk menyamakan persepsi tentang kajian sosek. Karena bila terjadi perbedaan persepsi maka hasil kajian akan terjadi perbedaan. Nah bila terjadi perbedaan maka kajian sosek harus diulang lagi. Hal ini sangat membebani peritel karena harus mengeluarkan biaya. ”Kita minta pemerintah dan peritel bisa menyamakan sudut pandang, sehingga kajian sosek bisa dilakukan sekali saja,” ujarnya. edp 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contact Us :